Belajar Gap Budaya dari Kisah Pintu
Apa yang sopan bagimu mungkin tak berarti di tempat lain
Tadi malam gue lihat ini di Twitter:
Kalau baca komen dari twit itu, pandangannya terpecah dua:
- Setuju bahwa orang-orang Indonesia nggak ngerti sopan santun dalam hal menahan pintu untuk orang lain
- Nggak terima, nolongin kok pamrih
Menurut gw, apa yang terjadi ini sebetulnya sesuatu yang penting yang sering bikin kita terlibat masalah yang ujung-ujungnya hanya dilabeli “miskomumikasi”.
Kata gw sih ya, situasi di atas ini menunjukkan adanya gap budaya (bener ga sih culture gap di Bahasa Indonesia jadi gap budaya?). Ya iya sih terjadi ketidakcocokan dalam komunikasi, tapi lebih rumit karena kedua belah pihak beroperasi di frame of reference (ga tau gw mak apa ini terjemahannya. u google aja yak) yang berbeda.
Budaya “menahan pintu untuk orang lain” itu bukan budaya Indonesia. Kapan dulu gw pernah baca hasil survey tentang keramahtamahan berbagai bangsa di dunia. Gw pikir palingan Indonesia ada di urutan atas nih, taunya kagak (sori ngga nemu link ke surveynya. Kalo lo ada nemu bagi-bagi ya di comment section). Salah satu indikator dari survey tersebut adalah kebiasaan “menahan pintu untuk orang lain” yang mana ngga dilakonin di Indonesia.
Kasar banget orang Indonesia ngga mau nahan pintu untuk orang lain? Lo semua kalo di India mungkin dianggep temen yang ga tau diri karena rajin bilang terima kasih.
Salah satu kejadian menarik waktu di Amrik adalah ketika temen India gw negur gw karena bilang terima kasih. Padahal dia abis bantuin gw. Lha apa lagi yang perlu gw lakukan selain bilang terima kasih ya ga? Sekali, dua kali, terakhir doi ngamuk. “Gw kan udah pernah bilang ke elo kalo ga perlu bilang terima kasih!” ya gitu lah kira-kira kalo di Bahasa Indonesia-in. Akhirnya gw tanya, “Mang ngapa?” Tus dia jelasin bahwa kalau di India, sudah kewajiban seorang teman untuk menolong teman yang lain. Kalau yang bantuin lo orang yg lo ga kenal-kenal amat, nah baru deh tuh lo bilang terima kasih. Tapi kalau lo bilang terima kasih ke teman, itu menunjukkan lo ngga anggap dia teman. Eaa. Pantesan doi ngamuk. (Tapi ya cuma satu temen ini yang ngamuk kalo gw bilang terima kasih. Temen India gw yang lain paling mesem-mesem doang. Ntah jaga perasaan atau memang adat itu nggak berlaku rata di India secara tu negara juga luas banget kan.)
Kalo begini siapa yang salah? Siapa yang salah dalam case pintu, siapa yang salah dalam case terima kasih?
Nih gw kasi satu contoh cerita lagi. Pemberian dari dosen kuliah Manajemen dimana di dalamnya ada satu bab tentang Intercultural Communication.
Alkisah ada sebuah perusahaan Amerika yang memiliki kantor cabang di Jepang. Suatu hari, kantor pusat yang di Amerika ini, mengirimkan seseorang untuk menjadi kepala di kantor cabang Jepang. Hari-hari berlalu dan sampailah mereka di penghujung tahun. Menurut bos si orang Amerika, pencapaian mereka tahun itu bagus jadi patut dirayakan (lha orang Amerika mah apaan dikit juga dirayain sih).
Bos Amerika: (di town hall meeting) Teman-teman (openingnya aja udah salah nih, di budaya Jepang bos sama anak buah posisi kudu jelas, lha dese manggil “teman”), tahun ini kita sudah mencapai hasil yang baik jadi mari kita rayakan dengan PARTY!
Tim Jepang: (diem)
Bos Amerika: (bingung)
Pas sesi pidato dia udah kelar, dia tanya sama salah satu anak buahnya, apa tadi dia ada salah ngomong. Trus dijawab begini:
Anak buah Jepang: kalau di Jepang itu, pencapaian tidak untuk dirayakan tapi kita harus lebih semangat untuk mencapai hasil yang lebih baik lagi
Kembali ke pintu.
Teman-teman yang sudah terbiasa ke Eropa atau Amerika, atau yang menyimak banget kalau nonton film-film buatan Eropa atau Amerika, mungkin kemudian mengadopsi elemen-elemen budaya dari sana, seperti:
- Menahan pintu untuk orang lain
- Naik eskalator dengan posisi sesuai kebutuhan (kanan diem, kiri ngacir)
- Menunggu orang keluar dari kereta dulu sebelum masuk
“Emang kenapa kalo adopsi budaya itu? Kan bagus?!”
Lha iya emang bagus. Tapi jangan lupa bahwa itu bukan sesuatu yang orang Indonesia pelajari sejak keluar dari rahim ibu seperti:
- Gunakan tangan kanan
- Buka sepatu sebelum masuk rumah orang lain
- Jalan agak membungkuk kalau lewat depan orang yang dituakan
Coba deh paksain 3 hal terakhir ini ke orang-orang Eropa dan Amerika, kalau reaksinya ngga “Seriously why is that so important?!” (Well mungkin sebagian besar akan lebih kaget dan menyadari bahwa ada perbedaan budaya dan mereka akan ingat-ingat).
Tapi ya itu. Ketika kita mau impose budaya asing ke Indonesia, kemungkinan besar reaksi spontannya “Seriously why is that so important?!” Lalu karena kita merasa lebih tau, kita jelasin bahwa itu penting karena nganu nganu. Kalau kita kebetulan ketemu orang yang lagi cerah harinya, mungkin dia akan jawab “Wah makasih ya udah dikasi tau.” Tapi kalo kita ketemunya sama orang yang pas lagi bete karena mungkin abis diomelin, atau mungkin lagi buru-buru mau ke toilet, ya jangan tersinggung kalau dijawab “Apaan sih. Selama ini ngga gitu juga baik-baik aja.”
Ingat-ingatlah bahwa baik dan tidak baik itu tidak sama rata nilainya di semua budaya. Ini kita baru bicara budaya dalam skala bangsa, belum budaya mikro seperti komunitas atau keluarga. Nah udah tambah ruwet lagi.
Bukan hal yang bijak untuk menghakimi orang lain sebelum kita tau apakah orang tersebut beroperasi dengan nilai-nilai yang sama dengan kita.
Kalau kata orang bijak, “common sense is not that common”.